PT DI Berkeinginan Ikut Masuk ke Rantai Produksi KF-21
20 Maret 2025
from DEFENSE STUDIES https://ift.tt/mgpLF6O
via IFTTT
Pesawat tempur KF-21 (photo: Daum)
Apa Kabar Proyek Jet Tempur KF-21 Indonesia-Korsel ? ini Penjelasan PTDI
Hanya saja untuk 2025 ini, PTDI akan fokus memaksimalkan pengembangan prototip pesawat terlebih dulu.
JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PTDI) Gita Amperiawan menjelaskan perkembangan proyek pengembangan jet tempur KF-21 Boramae atau Korea Fighter X (KFX) dan Indonesia Fighter X (KFX-IFX).
Menurut Gita, saat ini proyek pengembangan itu memasuki tahap pembuatan prototipe pesawat. Tahapan ini masih berlangsung dan akan selesai pada 2026. "Apa yang menjadi fokus PTDI adalah bagaimana fase ini, bisa kita selesaikan dengan maksimal.
Apa yang jadi fokus PT DI adalah bagaimana fase ini, bisa kita selesaikan dengan maksimal," ujar Gita ketikaa ditemui di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jakarta, Rabu (12/3/2025).
"Dalam arti kata, maksimal itu adalah benefit yang kita peroleh itu harus worth it dengan investasi yang kita keluarkan. Itu fokus strategi kita sekarang," tegasnya.
Gita bilang, komunikasi antara PTDI dengan pihak Korea Selatan terus berlanjut dengan baik.
Sebab memang untuk tahapan prototyping kedua pihak harus menyelesaikan hingga 2026.
Sementara itu, saat ini sejumlah tes penerbangan oleh pilot-pilot dari kedua negara telah dilakukan.
Gita melanjutkan, secara jadwal setelah 2026 nanti proyek pengembangan jet tempur KF-21 sudah memasuki masa produksi pesawat.
Indonesia sendiri menurutnya berkeinginan ikut masuk ke rantai produksi dari jet tempur tersebut saat fase mass production dilaksanakan.
Perakitan pesawat tempur KF-21 (photos: KAI)
"Kita harus memaksimalkan itu dan harus qualified. Karena salah satu kontribusi atau partisipasi di dalam industri pesawat terbang itu adalah certified," tegasnya.
Sementara itu, saat ditanya soal realisasi investasi yang diberikan Indonesia untuk pengembangan KF-21, Gita menyebut bukan ranah dari PTDI untuk memberikan penjelasan. Termasuk soal pelunasan komitmen investasi dengan Korea Selatan.
Di sisi lain, saat ditanya soal komitmen dalam menuntaskan kerja sama pengembangan jet tempur KF-21, Gita menegaskan PTDI mengikuti apapun keputusan pemerintah Indonesia.
"Kami PT DI prinsipnya apa pun keputusan pemerintah itu kita akan laksanakan. Jadi ya fokus kami (saat ini) adalah bagaimana yang eksisting program kita (jalankan) maksimal. Untuk komitmen dan lain-lain itu kewenangan pemerintah. Tapi apapun keputusan pemerintah PTDI akan dukung," jelas Gita.
"Kami masih mengikuti perkembangan Bagaimana kebijakan terkahir. Tapi memang tadi yang saya sampaikan, karena Ini fase terakhir prototyping, justru fokus kami memaksimalkan dua tahun terakhir ini supaya hasilnya kita ini baik, sesuai cost share yang kita berikan," tambahnya.
Untuk diketahui, kerja sama antara Indonesia dan Korea Selatan dalam pengembangan pesawat jet tempur KF-21 Boramae sudah berlangsung sejak 2014 silam. Sedianya, proyek ini ditargetkan rampung dalam kurun waktu 12 tahun, yakni pada 2026.
Berdasarkan kesepakatan itu, Korea Selatan dan Indonesia mengembangkan jet tempur dalam proyek bernilai 8,1 triliun won atau setara Rp 100 triliun. Rinciannya, Indonesia membayar 20 persen dari total pembiayaan.
Untuk melunasi 20 persen itu, Indonesia berkomitmen membayar sekitar Rp 2 triliun per tahun kepada Korea Selatan.
Kemudian pada 2018, Indonesia berupaya untuk merundingkan kembali kesepakatan tersebut, untuk mengurangi tekanan pada cadangan devisanya.
Sehingga, pemerintah Indonesia menawarkan barter proyek sebagai alternatif membayar 20 persen dari pembiayaan. Di antaranya pembangunan smart city di Ibu Kota Negara (IKN) hingga proyek terkait mobil listrik.
Namun, pemerintah Korea Selatan tetap meminta agar Indonesia melunasi tunggakan utang terlebih dahulu.
Sebab, selain pembelian jet tempur, program kerja sama itu juga mencakup investasi alutista dalam negeri serta kerja sama produksi komponen untuk pemesanan KFX-IFX dari sejumlah negara serta insentif ekonomi.
Pada 2019, Indonesia menghentikan pembiayaan sementara pada proyek tersebut sebelum melanjutkannya kembali pada akhir 2022.
Menurut pemberitaan Reuters, kedua negara sepakat pada November 2023 bahwa Indonesia akan menepati janjinya untuk menanggung 20 persen biaya pembangunan, termasuk pembayaran natura untuk sepertiga bagiannya, meskipun kontrak tersebut belum resmi direvisi.
Menurut kantor berita The Korea Times, hingga Oktober 2023, keterlambatan bayar pihak Pemerintah Indonesia diestimasikan mencapai 1 triliun won atau setara Rp 11,7 triliun. (Kompas)
Pesawat tempur KF-21 versi tempat duduk tunggal (photo: Chosun)
Korsel akan tutupi kekurangan KF-21 Indonesia, tingkatkan beban KAI
Keputusan Korea Selatan untuk mengurangi kontribusi Indonesia terhadap program pengembangan jet tempur KF-21 hingga dua pertiga telah mengalihkan tekanan finansial ke Korea Aerospace Industries (KAI), kontraktor utama proyek tersebut.
Hingga 10 Maret, sumber perbankan investasi mengatakan pemerintah Korea Selatan sedang mempertimbangkan rencana untuk membagi kontribusi Indonesia yang belum dibayarkan sebesar 470 miliar won ($322,2 juta), dengan sekitar $239,9 juta ditanggung oleh pemerintah (74,5%) dan sekitar 82,3 juta oleh KAI (25,5%). Beberapa pihak berpendapat bahwa KAI harus menanggung bagian biaya yang lebih besar.
Sejak 2015, Korea Selatan dan Indonesia telah bersama-sama mengembangkan KF-21, jet tempur generasi berikutnya, dengan total anggaran sekitar $5,5 miliar hingga 2026.
Berdasarkan perjanjian awal, Indonesia akan menanggung 20% dari total biaya—$1,1 miliar, yang kemudian dikurangi menjadi sekitar $1 miliar—sebagai imbalan atas prototipe pesawat, transfer teknologi, dan hak untuk memproduksi 48 jet di dalam negeri. Sisanya, 80% akan didanai oleh pemerintah Korea Selatan ($3,3 miliar, atau 60%) dan KAI ($1 miliar, atau 20%).
Namun, dengan hanya tersisa satu tahun hingga penyelesaian proyek, Indonesia hanya berkontribusi $274,4 juta sejauh ini—hanya 25% dari jumlah yang dijanjikan. Dengan alasan kesulitan keuangan, Indonesia telah meminta pengurangan bagiannya. Sebagai tanggapan, pemerintah Korea Selatan mengusulkan pada Agustus 2024 untuk menurunkan kontribusi Indonesia menjadi $411,5 juta. Berdasarkan penyesuaian ini, Indonesia akan membayar rata-rata $73,3 juta per tahun dari tahun 2024 hingga 2026.
KAI telah mengurangi total biaya pengembangan sekitar 6%, sehingga turun menjadi sekitar $5,2 miliar. Namun, perusahaan kini menghadapi beban keuangan yang lebih berat karena tambahan $82,3 juta yang mungkin perlu ditanggungnya. Ini akan membuat total kontribusi KAI menjadi $1,1 miliar, lebih dari tujuh kali lipat laba operasinya tahun lalu.
Seorang pejabat Administrasi Program Akuisisi Pertahanan (DAPA) mengatakan, “Pemerintah dan perusahaan pada prinsipnya sepakat untuk membagi kekurangan tersebut, dan diskusi sedang berlangsung berdasarkan pertimbangan anggaran nasional dan status keuangan perusahaan. Distribusi biaya yang tepat belum diselesaikan.”
Sejak tahun lalu, DAPA telah mengirimkan 10 surat resmi ke Indonesia, mendesak pembayaran atau meminta negosiasi tentang kontribusi yang disesuaikan. Namun, Kementerian Pertahanan Indonesia hanya menanggapi tiga kali. Dua tanggapan ini terkait dengan insiden di mana teknisi Indonesia yang ditempatkan di KAI kedapatan membocorkan data teknis, sementara tanggapan ketiga menegaskan kembali permintaan Indonesia untuk menurunkan kontribusinya menjadi $411,7 juta.
Meskipun mengalami kendala keuangan, Korea Selatan dan KAI tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan Indonesia, karena negara tersebut diharapkan menjadi pelanggan pertama KF-21. Berdasarkan perjanjian tersebut, Indonesia akan membeli 48 pesawat. Negara tersebut sebelumnya juga telah membeli pesawat latih dasar KT-1 dan jet latih canggih T-50 dari Korea Selatan.
Seorang pejabat industri pertahanan mengatakan, “Menurut pemahaman kami, kontribusi Indonesia yang berkurang akan diimbangi dengan penurunan transfer teknologi. Pemerintah memimpin negosiasi yang menghasilkan konsesi ini, jadi sangat disayangkan bahwa perusahaan swasta diminta untuk menanggung sebagian beban tersebut.” (The Chosun Daily)
from DEFENSE STUDIES https://ift.tt/mgpLF6O
via IFTTT





Post a Comment