Tawaran Kapal Selam S26 Made in China dan Dinamika Geopolitik Global

24 Juli 2024

Kapal selam diesel AIP S26 (photo: Sinodefence)

Kementerian Pertahanan bersama dengan Mabes TNI dan Mabes Angkatan saat ini sedang melakukan evaluasi terhadap usulan rencana kebutuhan anggaran pengadaan sistem senjata untuk periode 2025-2029 yang dibiayai oleh skema Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan Pinjaman Dalam Negeri (PDN).

Ketiga Angkatan TNI sudah mengajukan rencana kebutuhan anggaran akuisisi sistem senjata kepada Kementerian Pertahanan sejak beberapa bulan lalu. Setelah kegiatan evaluasi di Kementerian Pertahanan selesai, usulan itu akan diajukan kepada Menteri Pertahanan untuk disetujui sebelum diusulkan kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Apabila mendapatkan persetujuan dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, usulan rencana kebutuhan anggaran pembelian sistem senjata akan dicantumkan dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2025-2029 dan Daftar Kegiatan Pinjaman Dalam Negeri (DKPDN) 2025-2029.

Berapa nilai alokasi Blue Book 2025-2029 untuk Kementerian Pertahanan sampai saat ini masih misteri, sebab hal demikian merupakan kewenangan pemerintahan baru. Namun terdapat spekulasi bahwa nilai alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) bagi belanja sistem senjata akan berkisar antara US$ 25 miliar hingga US$ 35 miliar.

Menurut perkiraan, TNI Angkatan Udara akan menjadi penerima terbesar PLN, disusul oleh TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Darat. Apabila perkiraan demikian benar, konfigurasi demikian tidak berubah dari alokasi penerima PLN pada periode 2020-2024 di mana alokasi final PLN senilai US$ 25 miliar.

Pada pembangunan kekuatan pertahanan kurun masa 2025-2029, TNI Angkatan Laut diperkirakan akan mendapatkan alokasi belanja pengadaan sistem senjata utama seperti kapal fregat dan kapal selam dari Kementerian Pertahanan. Akuisisi kedua sistem senjata merupakan lanjutan dari kegiatan serupa pada MEF 2020-2024.

Luyang III/Type 052D DDG (photo: USNI)

Sebab, TNI Angkatan Laut memerlukan lebih banyak kapal selam dan fregat baru guna menggantikan kapal selam dan fregat lama yang usia operasionalnya sudah melebihi 30 tahun.

Selama MEF 2020-2024, Kementerian Pertahanan melakukan pembelian dua kapal selam kelas Scorpene Evolved dan dua kapal fregat Thaon Di Revel. Walaupun pada MEF 2010-2014 Kementerian Pertahanan mengimpor tiga kapal selam DSME 209/1400 dari Korea Selatan, kinerja kapal selam tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan dan cenderung menjadi beban bagi TNI Angkatan Laut.

Walaupun pembangunan kekuatan pertahanan era 2025-2029 belum dimulai, China kini gencar menawarkan kapal selam S26 yang sebelumnya gagal dibeli oleh Thailand karena pihak pertama gagal memenuhi kebutuhan pihak terakhir.

Saat itu China menjanjikan bahwa kapal selam AIP tersebut akan dilengkapi sistem pendorong MTU 396 buatan MTU, Jerman. Akan tetapi pemerintah Jerman menolak menerbitkan lisensi ekspor kepada China untuk sistem pendorong yang dikenal andal tersebut karena alasan embargo terhadap Cina sejak peristiwa pembantaian Tiananmen pada 1989.

Penolakan pemerintah Jerman tidak mengejutkan, antara lain karena Jerman dan negara-negara Barat berupaya mempertahankan keunggulan teknologi mereka, sementara di sisi lain China dikenal kerap melaksanakan reverse engineering tanpa izin dari negara produsen.

Penawaran kapal selam S26 merupakan satu paket dengan penawaran kapal perusak Type 052D dengan harga murah apabila Indonesia membeli keduanya. Baik penawaran S26 maupun Type 052D sebenarnya sudah dilakukan sejak beberapa tahun silam, akan tetapi Indonesia lebih tertarik dengan penawaran dari Naval Group dan Fincantieri.

Nampaknya China tidak putus asa dengan penawaran tersebut dan kembali menyodorkan paket kapal selam dan kapal perusak menjelang dimulai pembangunan kekuatan pertahanan periode 2025-2029. Terhadap penawaran kapal selam maupun kapal perusak dari China, terdapat beberapa hal yang sebaiknya harus diperhatikan oleh Indonesia.

Mesin MTU 396 buatan MTU Jerman (photo: MTU)

Pertama, pertimbangan geopolitik. China memang salah satu kekuatan besar ekonomi dunia sekaligus anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Namun perlu diingat pula bahwa China sedang berupaya membangun tatanan dan norma sendiri dalam hubungan antar bangsa, khususnya di kawasan Indo Pasifik, yang cenderung tidak sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia dan hukum internasional.

Selain melakukan bullying kepada negara lain, China pun berupaya mengubah hukum internasional dengan memaksakan penafsiran-penafsiran sepihak yang ditolak oleh-negara lain. Cara China memajukan kepentingan nasionalnya tidak lebih baik daripada yang dilakukan oleh Amerika Serikat, walaupun China mengeklaim sebagai kekuatan alternatif terhadap Amerika Serikat.

Kedua, potensi konflik di Laut China Selatan. Walaupun tidak mengakui klaim nine dash line China di Laut Cina Selatan, Indonesia hendaknya tidak naif bahwa Indonesia tidak memiliki potensi konflik dengan China hingga 20 tahun ke depan.

Apakah pelanggaran kapal-kapal pemerintah China terhadap wilayah Zone Ekonomi Eksklusif dan perairan teritorial Indonesia selama 20 tahun terakhir tidak cukup untuk meyakinkan Indonesia bahwa China memiliki ambisi teritorial terhadap hak berdaulat dan wilayah kedaulatan Indonesia?

Meskipun Amerika Serikat juga melakukan pelanggaran terhadap hak berdaulat dan wilayah kedaulatan Indonesia, akan tetapi negara itu tidak mempunyai ambisi teritorial terhadap Indonesia.

Ketiga, integrasi sistem. Indonesia selama ini mengakuisisi beragam sistem senjata utama dari negara-negara Barat, di mana integrasi antar sistem senjata tersebut lebih mudah apabila Indonesia berniat melakukannya.

Seandainya Indonesia membeli kapal selam S26 dan kapal perusak Type 052D, integrasi dengan sistem senjata buatan Barat akan penuh tantangan dari aspek politik maupun teknis. Integrasi antarkedua sistem harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pemerintah negara-negara Barat, sebab Indonesia terikat dengan lisensi ekspor yang telah diterbitkan sebelumnya.

Keempat, penguasaan teknologi kapal selam. Di mana benang merah antara penguasaan teknologi melalui akuisisi kapal selam kelas Scorpene Evolved dengan kapal selam S26 apabila Indonesia setuju membeli kapal selam buatan China? Apakah tawaran kapal selam S26 akan berkontribusi pada penambahan pengetahuan dan keterampilan insinyur dan teknisi Indonesia dalam penguasaan teknologi kapal selam?

Menurut pengetahuan penulis, diskusi antara Kementerian Pertahanan dengan China Shipbuilding Trading Co, Ltd tentang kapal selam S26 tidak menyentuh tentang kemitraan industri, sementara belum jelas pula apakah China State Shipbuilding Corporation selaku pembuat S26 memiliki rencana untuk melaksanakan alih teknologi kapal selam kepada Indonesia.

Kelima, keandalan teknis. Keandalan teknis kapal selam S26 nampaknya di bawah kapal selam buatan Eropa seperti Scorpene Evolved dan U214. Hal itu bisa dilihat dari nilai indiscretion rate kapal selam Scorpene Evolved sekitar enam persen, sedangkan nilai indiscretion rate S26 ialah 15 persen.

Indiscretion rate yaitu waktu yang dibutuhkan kapal selam untuk melaksanakan isi ulang baterai, di mana semakin besar nilai indiscretion rate maka semakin lama pula waktu yang diperlukan oleh suatu kapal selam untuk melaksanakan isi ulang baterai. (Alman Helvas Ali)



from DEFENSE STUDIES https://bit.ly/46keqBU
via IFTTT