Program Jet Tempur KF-21 dan Bisnis Aerostructures Indonesia

17 Juni 2024

KF-21 untuk Indonesia (IFX) (image: KAI)

Saat ini Indonesia kembali meminta pemotongan kewajiban cost share program KF-21 kepada Korea Selatan dari 20% menjadi 7%. Alasan resmi di balik permintaan itu adalah sedikitnya teknologi yang dapat dialihkan oleh Seoul kepada Jakarta.
Tentu saja akan ada konsekuensi komersial bagi Indonesia apabila kewajiban cost share program KF-21 berkurang menjadi 7% saja. Salah satunya terkait dengan peluang Indonesia menjadi bagian dari global supply chain jet tempur bermesin ganda tersebut.

KF-21 adalah pesawat tempur generasi 4.5 yang dikembangkan oleh Korea Aerospace Industries (KAI) dengan bantuan Lockheed Martin. Sebagai bagian dari keputusan Korea Selatan mengakuisisi 60 F-35A produksi Lockheed Martin pada 2014, pabrik pesawat terbang asal Amerika Serikat sepakat menjalin kemitraan dengan KAI pada program KF-21.

Sebelumnya, Lockheed Martin telah membantu KAI dalam program T-50 dan mendanai program itu sebesar 13%. Banyak pihak menilai bahwa T-50 mempunyai kemiripan dengan F-16 yang dikembangkan oleh General Dynamics sebelum firma tersebut menjual Divisi Forth Worth kepada Lockheed Corporation pada 1993.

Sejak 1970-an, teknologi manufaktur dirgantara (aerospace manufacturing) terkonsentrasi pada permesinan logam presisi, yaitu logam lunak (aluminium alloys), logam keras (titanium) dan struktur-struktur komposit maju.

Penggunaan komposit semakin meningkat pada pesawat tempur dan pesawat komersial sejak era 1990-an berkat karakteristik yang ringan namun kuat, selain hilangnya persoalan kelelahan logam (fatigue) dan korosi yang selalu menghantui pesawat terbang. Sebagai ilustrasi, berat Boeing B787 50 persen berasal dari komposit, sedangkan berat Airbus A350-900 dan A350-1000 masing-masing 53 persen dan 54 persen bersumber dari komposit.

Prototipe ke-5 KF-21 yang semula diperuntukkan bagi Indonesia (photo: Reddit)

Berat F-16 diperkirakan hanya dua persen disumbangkan oleh komposit. Sedangkan dari total berat kosong F-22 yang dikembangkan bersama oleh Lockheed Martin dan Boeing yakni 19.700 kg, diperkirakan 22% berpangkal dari komposit. Adapun berat F-35 menurut kalkulasi 42% datang dari komposit. Sedangkan KF-21 mempunyai kandungan komposit 15% bila dihitung dari total berat kosong pesawat.

Penggunaan komposit pada KF-21 mencakup sayap utama (main wing), ekor (tail) dan skin aft fuselage. Menurut kesepakatan antara KAI dan PT Dirgantara Indonesia, pihak yang terakhir akan memproduksi komponen sayap bagian kiri dan kanan (left and right wings), ekor tegak (vertical tail), ekor horizontal (horizontal tail) dan pylon.

Namun PT Dirgantara Indonesia tidak akan melakukan manufaktur semua kebutuhan komponen tersebut, melainkan dalam jumlah terbatas saja. Detail mengenai kuantitas komponen-komponen tersebut yang akan diproduksi di Bandung masih belum jelas.

Pekerjaan manufaktur komponen sayap utama dan ekor KF-21 oleh PT Dirgantara Indonesia merupakan peluang untuk kembali bangkit dalam peta industri aerostructures global sekaligus menjadi pemasok bagi KAI. Posisi Indonesia dalam industri aerostructures di Asia Tenggara berada di belakang Singapura, Malaysia dan Thailand ditinjau dari nilai pendapatan.

Selama ini, fokus industri dirgantara di Indonesia adalah pada peran selaku Original Equipment Manufacturer dan cenderung mengabaikan tier 1, 2 dan 3. Industri aerostructures digolongkan sebagai tier 2 dalam industri dirgantara global.

Perakitan KF-21 di KAI, Korea (photo: Naver)

Akan tetapi menjadi pemasok komponen-komponen berbasis komposit pada KF-21 juga merupakan tantangan bagi PT Dirgantara Indonesia maupun pemerintah Indonesia. Sebab dibutuhkan investasi baru pada fasilitas produksi perusahaan tersebut, termasuk pengadaan tambahan permesinan untuk memproses komposit.

Misalnya akuisisi mesin-mesin CNC untuk komposit, begitu pula pembelian automated fibre placement. Sebagian fasilitas permesinan yang dipunyai oleh PT Dirgantara Indonesia saat ini sudah tidak efisien sekaligus tertinggal secara teknologi sebab dibeli di era kejayaan PT IPTN.

Fasilitas permesinan tersebut sudah harus dimodernisasi agar PT Dirgantara Indonesia dapat lebih efisien dalam produksi maupun bersaing dengan kompetitor. Tanpa modernisasi fasilitas produksi, akan semakin sulit bagi anak usaha BUMN itu untuk kembali bersaing dalam industri aerostructures global sekaligus dapat mengembalikan kepercayaan pemain internasional seperti Spirit AeroSystems dan Airbus.

Pada sisi lain, fakta menunjukkan bahwa perusahaan itu tidak memiliki kemampuan finansial dari kas sendiri untuk melaksanakan program modernisasi permesinan guna mendukung produksi.

Mengacu pada rencana Indonesia dalam program KF-21, pemerintah akan berinvestasi dalam pengadaan permesinan guna mendukung produksi komponen-komponen di PT Dirgantara Indonesia. Sampai sekarang belum terlihat bagaimana rencana tersebut akan direalisasikan dalam satu atau dua tahun ke depan, di mana pada 2026 merupakan tahun terakhir EMD KF-21.

Pasca 2026, pesawat tempur yang menggunakan radar AESA buatan Hanwha Systems akan mulai diproduksi secara massal, walaupun baru pada Block 1 yang hanya mempunyai kemampuan udara ke udara saja. Terkait dengan permintaan Indonesia kepada Korea Selatan untuk pengurangan kewajiban cost share program KF-21, terdapat beberapa pertanyaan penting.

PT DI telah menyiapkan mesin CNC untuk komposit, dan automated fibre placement sebagai fasilitas produksi IFX/KF-21 versi Indonesia (photo: MyLesat)

Apakah Indonesia masih akan memiliki hak untuk memproduksi sayap bagian kiri dan kanan, ekor tegak, ekor horizontal dan pylon apabila Seoul menyetujui permintaan Jakarta? Jika jawaban pertanyaan itu adalah iya, berapa banyak shipset yang akan diizinkan oleh Korea Selatan untuk dimanufaktur di Indonesia?

Apakah produksi komponen-komponen berbasis komposit tersebut hanya untuk KF-21 pesanan Indonesia saja? Ataukah kegiatan manufaktur juga mencakup pesanan dari Korea Selatan dan konsumen-konsumen lainnya?

Bila Indonesia tetap mendapatkan hak memproduksi sejumlah komponen KF-21 yang berbasis komposit, lalu bagaimana idle capacity yang dimiliki oleh PT Dirgantara Indonesia? Idle capacity yang dimaksud adalah masih tersedianya kapasitas manufaktur komponen yang berbasis komposit walaupun firma itu menjadi bagian dari global supply chain KAI untuk KF-21.

Apakah idle capacity akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan-perusahaan global seperti Spirit AeroSystems dan Airbus? Seperti telah dijelaskan, Boeing dan Airbus kini banyak mengadopsi komponen berbasis komposit untuk pesawat jarak jauh dan ultra jarak jauh seperti B787 dan A350.

Sebaliknya, jika Indonesia tidak lagi mempunyai hak melakukan manufaktur komponen-komponen KF-21 sebagai konsekuensi dari pengurangan drastis cost share, hal demikian akan menghilangkan satu peluang besar untuk membangkitkan kembali industri aerostructures di PT Dirgantara Indonesia.

Akan lenyap pula kesempatan bagi firma dirgantara tersebut untuk mendapatkan suntikan modal dari pemerintah lewat modernisasi fasilitas permesinan, termasuk untuk manufaktur komponen yang berbasis komposit. Sebagai konsekuensinya, akan semakin sukar untuk mengharapkan kebangkitan bisnis aerostructures perusahaan itu. (Alman Helvas Ali)



from DEFENSE STUDIES https://bit.ly/3z4ZsDk
via IFTTT