Penyerapan Penetapan Sumber Pembiayaan untuk Belanja Senjata

08 April 2024

Ada sekitar US$ 2,2 miliar PSP yang tidak dapat diserap karena masa berlakunya telah habis dan faktor lain (photo: Air Data News)

Guna mendukung pelaksanaan Minimum Essential Force (MEF) 2020-2024, Menteri Keuangan telah menerbitkan penetapan anggaran sebesar US$25 miliar dari April 2021 sampai April 2023. Nilai tersebut sama dengan alokasi Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2020-2024 untuk Kementerian Pertahanan yang disetujui oleh Presiden Joko Widodo dalam sidang kabinet terbatas pada 28 November 2023 di Istana Bogor.

Dalam rapat yang sama, presiden juga memveto alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) sebesar US$34,4 miliar bagi Kementerian Pertahanan yang sebelumnya telah disahkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.

PSP senilai US$25 miliar merupakan jumlah yang terbesar yang pernah disetujui oleh Menteri Keuangan sejak MEF dimulai pada 2010. Menjadi tantangan bagi Kementerian Pertahanan untuk dapat menyerap alokasi PSP tersebut menjadi kontrak pengadaan sistem senjata.

Berdasarkan pengalaman pada MEF tahap pertama dan kedua, tidak semua PSP berhasil dieksekusi menjadi kontrak, apalagi kontrak tersebut memasuki status efektif. Kemampuan menyerap PSP ialah salah satu faktor yang dinilai oleh Kementerian Keuangan dalam memberikan alokasi PLN pada tahun-tahun mendatang.

MEF 2020-2024 baru akan berakhir pada 31 Desember 2024, namun dengan total PSP yang disetujui oleh Menteri Keuangan mencapai US$ 25 miliar, lalu bagaimana kemampuan Kementerian Pertahanan dalam menyerap PSP yang telah disetujui?

Mengacu pada Blue Book 2020-2024 perubahan keempat, terdapat 137 kegiatan akuisisi senjata senilai US$ 34,4 miliar. Akan tetapi kini jumlah tersebut telah berkurang lebih dari 30 kegiatan seiring perubahan alokasi PLN dan hal-hal lain yang terjadi hampir setahun terakhir. Apakah ada faktor-faktor yang menghambat daya serap PSP menjadi kontrak dalam periode terakhir MEF?

Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan berbekal PSP senilai US$ 25 miliar, Kementerian Pertahanan berhasil mengeksekusi kontrak akuisisi 42 Rafale, dua A400M, dua Scorpene, 25 radar pertahanan udara dan lain sebagainya. Pengadaan 42 Rafale dan 25 radar pertahanan udara tergolong luar biasa, sebab biasanya Indonesia hanya membeli paling banyak belasan unit pesawat tempur dan kurang dari 10 unit radar pertahanan udara.

Lewat PSP tersebut, dilakukan pula modernisasi sejumlah C-130H melalui penggantian center wing box dan avionics upgrade agar pesawat angkut tersebut dapat berdinas hingga 20 tahun ke depan. Kementerian Pertahanan tidak lupa pula membelanjakan sebagian kecil porsi PLN untuk mendukung industri pertahanan domestik lewat pesanan dua CN235 dan enam N219 kepada PT Dirgantara Indonesia.

Pada sisi lain, merupakan fakta yang tidak dapat dibantah bahwa terdapat sejumlah PSP yang tidak dapat diserap oleh Kementerian Pertahanan dalam beberapa tahun terakhir. Mengingat bahwa MEF 2020-2024 belum usai, belum dapat diketahui berapa nilai total kegiatan yang tidak dapat diterjemahkan menjadi kontrak.

Namun sebagai gambaran, setidaknya terdapat sekitar US$ 2,2 miliar PSP yang tidak dapat diserap karena masa berlakunya telah habis dan faktor lain. Lalu faktor apa saja yang membuat PSP tidak dapat ditindaklanjuti menjadi kontrak dengan calon pemasok sistem senjata?

Pertama, pembatalan program. Terdapat beberapa program yang telah memiliki PSP akan tetapi tidak diikuti dengan penandatanganan kontrak dengan calon pemasok karena program-program tersebut diusulkan dibatalkan oleh Kementerian Pertahanan.

Usulan pembatalan demikian kemudian disetujui oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas melalui revisi Blue Book. Mengapa sejumlah program yang sudah menerima PSP dibatalkan adalah domain Kementerian Pertahanan.

Kedua, pembatalan dan pengalihan program. Dalam kasus ini, sejumlah kegiatan akuisisi yang telah mendapatkan PSP diusulkan untuk dibatalkan dan alokasi PSP yang tersedia diusulkan dialihkan bagi kegiatan lain yang dipandang lebih prioritas.

Berbeda dengan pembatalan program pada butir pertama, pembatalan dan pengalihan program tidak memerlukan perubahan Blue Book karena kegiatan baru yang diusulkan menerima PSP telah tercantum dalam DRPLN-JM 2020-2024. Apakah usulan pembatalan dan pengalihan program diterima atau tidak, hal demikian merupakan kewenangan Menteri Keuangan untuk memutuskan.

Ketiga, tidak ada penandatanganan kontrak hingga masa berlaku PSP berakhir. Terdapat sejumlah kegiatan pengadaan sistem senjata yang tidak bisa dieksekusi menjadi kontrak dengan calon pemasok hingga masa berlaku PSP jatuh tempo, seperti pembelian helikopter angkut berat untuk TNI Angkatan Udara.

Penyebabnya harus dilihat kasus per kasus, seperti negosiasi kontrak belum selesai saat masa berlaku PSP kadaluarsa, data teknis pendukung dari calon pengguna belum tersedia dan lain sebagainya. Walaupun terdapat opsi mengajukan perpanjangan PSP kepada Menteri Keuangan, namun Kementerian Keuangan bersikap sangat selektif untuk menilai program-program yang layak diperpanjang.

Keempat, perubahan kontrak. Perubahan kontrak pengadaan yang belum selesai dilaksanakan ketika masa berlaku PSP berakhir turut berkontribusi pula pada daya serap PSP. Perubahan kontrak dapat terjadi apabila pihak yang sebelumnya mendapatkan kontrak akuisisi dari Kementerian Pertahanan tidak dapat memenuhi kewajiban, misalnya tidak mengantongi Letter of Appointment (LOA) dan Power of Attorney (POA) dari Original Equipment Manufacturer (OEM).

Terjadinya perubahan kontrak merupakan sebuah keniscayaan sepanjang masih dalam masa berlaku PSP, di mana PSP berlaku sampai satu tahun setelah diterbitkan.

Kelima, perubahan skema pembiayaan. Skema pembiayaan yang ditetapkan dalam PSP ada dua, yakni Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (LPKE) dan Kreditur Swasta Asing (KSA). Dari dua skema pembiayaan tersebut, LPKE lebih disukai karena OEM atau calon pemasok yang akan mengajukan calon lender kepada Kementerian Keuangan daripada KSA di mana Kementerian Keuangan yang harus mencari calon lender.

Tidak jarang terjadi usulan perubahan skema pembiayaan dari LPKE ke KSA atau sebaliknya kepada Kementerian Keuangan berdasarkan sejumlah alasan, namun proses tersebut terjadi hampir bersamaan dengan akan habisnya masa berlaku PSP.

Keenam, kesulitan mencari lender. Sejumlah program yang terkait dengan pembelian sistem senjata dari Turki menghadapi isu ini, sebab tidak ada fasilitas LPKE atau KSA dari lembaga keuangan Turki dengan penawaran suku bunga yang kompetitif.

Sementara calon lender dari Barat atau sindikasi lain enggan membiayai pengadaan asal Turki berdasarkan sejumlah pertimbangan resiko bisnis mengingat ekonomi Turki yang sangat tidak bagus. Padahal di sisi lain, PSP mempunyai masa berlaku yang tidak dapat ditawar lagi.

Ketujuh, program kontroversial. Adanya program kontroversial yang mendapatkan PSP dapat membuat penyerapan PSP tidak terwujud. Hal demikian terjadi dalam kasus rencana akuisisi 12 Mirage 2000-5 bekas dari Qatar dengan nilai PSP US$ 734,5 juta. Munculnya kontroversi dalam kegiatan tersebut membuat Menteri Keuangan tidak setuju untuk melanjutkan pengadaan yang akan dilaksanakan lewat firma yang berbasis di Praha, Ceko. (Alman Helvas Ali)



from DEFENSE STUDIES https://bit.ly/3TPqLbx
via IFTTT