Menakar Pasar Helikopter Militer Indonesia Hingga Tahun 2029
08 Januari 2025
from DEFENSE STUDIES https://ift.tt/QmYGilT
via IFTTT
CH-47F Chinook, helikopter angkut berat (photo: Boeing)
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mengalokasikan Pinjaman Luar Negeri (PLN) senilai US$ 1,06 miliar untuk pembelian helikopter bagi TNI Angkatan Darat dan TNI Angkatan Udara untuk periode 2020-2024, sementara tidak ada program serupa bagi TNI Angkatan Laut. Nilai alokasi PLN untuk pesawat sayap putar memang jauh lebih kecil daripada untuk pesawat tempur dalam periode yang sama sebesar US$ 8,1 miliar.
Menteri Keuangan sudah menerbitkan Penetapan Sumber Pembiayaan sebesar US$ 995 juta hingga November 2024 untuk akuisisi helikopter, di mana satu kontrak telah ditandatangani namun belum mempunyai loan agreement.
Sedangkan dua program lain menunggu negosiasi kontrak antara Kementerian Pertahanan dan calon pemasok. Selain itu, perundingan loan agreement antara Kementerian Keuangan dan kandidat lender akan menentukan pula keberhasilan kegiatan pengadaan rotorcraft.
Pasar helikopter militer Indonesia sejak akhir 1970-an dikuasai oleh pemain global dari Amerika Serikat dan Eropa, yakni Bell Textron dan Airbus Helicopters. Bell Textron memiliki cengkraman yang kuat di pasar TNI Angkatan Darat, sedangkan Airbus Helicopters menguasai pasar TNI Angkatan Udara.
Airbus Helicopters sudah mengisi pasar itu sejak salah satu pendahulunya, yaitu Aerospatiale masih eksis. Sementara pasar TNI Angkatan Laut dikuasai bersama antara Bell Textron dan Airbus Helicopters, di mana produk asal pabrikan yang terakhir hadir dalam bentuk produk pendahulunya yang lain, yaitu Messerschmitt-Bölkow-Blohm maupun helikopter yang dipasok langsung oleh Airbus Helicopters sendiri.
PT IPTN pernah membeli lisensi SA330 dan AS332 dari Aerospatiale dan BO 105 dari Messerschmitt-Bölkow-Blohm yang berlaku dari akhir 1970-an hingga akhir 1990-an. Begitu pula dengan Bell Helicopter Textron yang pernah menjual lisensi Bell 412 kepada firma tersebut sehingga helikopter yang merupakan turunan dari UH-1 sempat diproduksi di Bandung.
Dengan kondisi demikian, merupakan hal yang lumrah bila Airbus Helicopters dan Bell Textron memiliki posisi dominan dalam pasar rotorcraft militer Indonesia hingga sekarang. Selain Bell Textron, pemain Amerika Serikat lainnya yang mempunyai ceruk pasar tersendiri adalah Boeing dengan produk jenis helikopter serang.
Sikorsky Aircraft yang merupakan anak usaha Lockheed Martin tercatat sebagai pemain baru di pasar helikopter militer negeri ini dengan kontrak akuisisi 22 unit S-70M lewat PT Dirgantara Indonesia senilai US$ 585 juta.
Helikopter Airbus H22M Caracal (photo: Antara)
Leonardo yang dahulu dikenal sebagai AgustaWestland masih belum melanjutkan upaya memasuki pasar rotorcraft Indonesia sejak tersandung kasus korupsi AW101 menjelang akhir dekade silam.
Meskipun saat ini terdapat produk Rusia yaitu Mil Mi-17 dan Mil Mi-35 yang dioperasikan oleh TNI Angkatan Darat, tidak ada harapan Kementerian Pertahanan dapat mengimpor lagi helikopter buatan Rusia menyusul beragam sanksi dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan sejumlah negara terhadap Rusia pasca invasi Rusia terhadap Ukraina, baik pada 2014 maupun 2022.
Sementara peluang bagi KUH-1 buatan KAI untuk penetrasi pasar Indonesia nampaknya masih menemui tantangan, walaupun pabrikan asal Korea Selatan telah menawarkan pendirian Final Assembly Line (FAL) KUH-1 di PT Dirgantara Indonesia dengan biaya investasi oleh yang harus ditanggung oleh pihak yang terakhir sekitar US$ 12 juta.
Kurun masa 2025-2029
Lalu bagaimana prediksi pasar pesawat sayap putar militer di Indonesia untuk kurun masa 2025-2029? Apakah akan ada pemain baru yang akan memasuki pasar Indonesia? Apakah pabrikan lama yang telah menguasai pasar Indonesia mampu mempertahankan cengkramannya? Keuntungan apa yang akan didapatkan oleh industri dirgantara Indonesia bila pemain baru mampu melaksanakan penetrasi pasar helikopter militer hingga akhir dekade ini?
Jawaban atas pertanyaan pertama akan sangat tergantung pada berapa besar alokasi PLN yang dialokasikan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas untuk mendukung program akuisisi helikopter yang diajukan oleh Kementerian Pertahanan.
Sebagai ilustrasi, TNI Angkatan Udara telah mengajukan anggaran PLN hampir US$ 1,4 miliar kepada Kementerian Pertahanan bagi program dua helikopter yang berbeda. Angka demikian belum mencakup permintaan anggaran PLN yang diusulkan oleh TNI Angkatan Darat dan TNI Angkatan Laut untuk program pesawat sayap putar.
Nilai alokasi PLN untuk belanja rotorcraft diharapkan akan dapat segera diketahui dalam waktu dekat setelah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menerbitkan Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DPRLN-JM) 2025-2029 untuk Kementerian Pertahanan.
Terkait pertanyaan kedua, terdapat peluang bagi masuknya pemain baru ke pasar Indonesia jika satu atau dua hal berikut terpenuhi. Pertama, adanya kebutuhan jenis helikopter baru yang selama ini tidak dapat dipenuhi oleh Airbus Helicopters dan Bell Textron, seperti kebutuhan helikopter angkut berat sekelas CH-47.
Helikopter Sikorsky S-70M Blackhawk (photo: Terranova Defence)
Kedua, kemampuan pemain baru meyakinkan Kementerian Pertahanan dan calon pengguna akhir bahwa produk mereka lebih kompetitif daripada pemain lama, baik dari aspek kinerja, harga jual, life cycle cost maupun layanan pascajual. Tanpa terpenuhinya satu atau dua hal yang sudah dijelaskan sebelumnya, sepertinya mengharapkan hadirnya pemain baru di pasar pesawat sayap putar militer negeri ini agak sulit.
Peluang bagi pabrikan lama untuk mempertahankan penguasaan pasar di Indonesia masih terbuka lebar, baik karena alasan kepercayaan pengguna akhir maupun jaringan lobi yang dimiliki oleh pemain lama.
Boleh jadi akan ada pemain baru yang masuk ke pasar tersebut, akan tetapi pemain lama tidak akan tersingkir begitu saja jika ceruk pasar yang dikuasai cukup unik sekaligus mengakar.
Sebagai contoh, bila Kementerian Pertahanan memutuskan adanya program helikopter angkut berat sekelas CH-47, hal demikian tidak akan mengusik ceruk pasar H225M. Namun posisi pemain lama dapat terancam layaknya dalam kasus Bell 412 kalau pabrikan asal Amerika Serikat itu tidak kembali agresif setelah pasarnya direbut oleh S-70M belum lama ini.
Pengadaan helikopter baru untuk kepentingan militer hingga akhir dasawarsa ini hendaknya memberikan keuntungan jangka panjang pada industri dirgantara Indonesia dalam bentuk menjadi bagian global supply chain.
Indonesia selama ini sudah memasok sejumlah komponen untuk H225M dan Bell 412, sehingga wajar apabila menjadi pemasok komponen pula jika ada produsen sayap putar baru yang memasuki pasar negeri ini.
Menjadi pemain dalam industri aerostructure helikopter hendaknya menjadi prioritas agar pabrik seperti PT Dirgantara Indonesia tidak menggantungkan pendapatan pada manufaktur pesawat terbang saja.
Akan tetapi menjadi pertanyaan apakah pemain aerostructure dari sektor partikelir Indonesia mempunyai peluang yang sama untuk memasok komponen kepada produsen rotorcraft yang menjual produknya kepada Kementerian Pertahanan. (Alman Helvas Ali)
(CNBC)
from DEFENSE STUDIES https://ift.tt/QmYGilT
via IFTTT
Post a Comment