Akuisisi Sistem Senjata, Antara Kebutuhan Mendesak & Waktu Tunggu

03 September 2024

Scorpene Evolved akan diserahkan dalam jangka waktu 96 bulan setelah kontrak efektif (photo: Brazilian Navy)

Meskipun alokasi belanja sistem senjata untuk Kementerian Pertahanan pada periode 2020-2024 yang bersumber dari Pinjaman Luar Negeri (PLN) ialah US$25 milyar, akan tetapi nilai realisasinya belum tersedia. Hingga sekarang proses akuisisi sistem senjata masih terus berlangsung di Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan, di mana kontrak yang sudah ditandatangani tidak dapat begitu saja langsung memasuki tahap efektif tanpa adanya loan agreement.

Tahapan diskusi loan agreement di Kementerian Keuangan memerlukan waktu, di mana durasinya berbeda pada setiap program pengadaan. Setelah proses tersebut selesai, aktivasi kontrak akan ditentukan oleh ketersediaan dana Rupiah Murni Pendamping di Kementerian Pertahanan pada tahun anggaran berjalan.

Sampai saat ini Kementerian Pertahanan juga sedang menunggu kepastian perpanjangan sejumlah Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) dari Menteri Keuangan. Permohonan perpanjangan PSP diajukan mengingat bahwa proses negosiasi kontrak di Kementerian Pertahanan dan atau proses negosiasi pinjaman di Kementerian Keuangan belum selesai saat masa berlaku PSP jatuh tempo.

Terdapat harapan agar perpanjangan tersebut dapat diberikan sebelum pemerintahan saat ini turun pada 20 Oktober 2024. Opsi lainnya adalah pemerintah baru melakukan perpanjangan PSP dengan tujuan agar daya serap PLN hingga akhir tahun ini lebih tinggi.

Tidak dapat dimungkiri bahwa akuisisi sistem senjata yang menggunakan PLN meningkat luar biasa di MEF 2020-2024. Meskipun demikian, kegiatan pembelian beragam sistem senjata masih jauh dari kebutuhan minimal pertahanan mengingat sebagian aktivitas tersebut lebih ditujukan untuk penggantian sistem senjata lama daripada menambah kuantitas sistem senjata secara keseluruhan.

Sebagai contoh, pengadaan 42 Rafale tidak akan diikuti dengan pembentukan skadron tempur baru sebab jet tempur asal Prancis itu akan ditempatkan di dua skadron yang saat ini mengoperasikan BAE Hawk 100/200. Program pembangunan kekuatan pertahanan jangka panjang 2010-2024 memang dirancang untuk menggantikan sistem senjata yang sudah usang daripada meningkatkan kualitas maupun kuantitas sistem sistem senjata.

F-16 A/B hasil upgrade dengan formasi tetris challenge (photo: Blcak Phoenix)

Kementerian Pertahanan dan TNI terus menghadapi isu keusangan sistem senjata, selain juga isu kelangkaan suku cadang. Isu keusangan sistem senjata tidak akan diuraikan lebih lanjut karena sudah menjadi pengetahuan umum.

Adapun isu kelangkaan suku cadang disebabkan oleh beberapa hal, seperti komponen sistem senjata beserta suku cadangnya tidak diproduksi lagi. Misalnya ketersediaan common radar processor AN/APG-68(V)9, di mana suku cadang sudah tidak diproduksi lagi oleh Northrop Grumman selaku penerus Westinghouse Electronic Systems.

Isu kelangkaan suku cadang disebabkan pula produksi suku cadang oleh penyuplai tidak berjalan lancar dengan beragam alasan. Bukan hal yang aneh apabila terdapat sistem senjata yang masih terus diproduksi oleh Original Equipment Manufacturer (OEM), namun suku cadang justru mengalami isu keusangan.

Sebagai contoh adalah suku cadang dengan part number tertentu untuk pesawat terbang yang diimpor oleh Indonesia dari negara berkembang lainnya. Mungkin terdengar aneh bahwa sebuah sistem senjata senjata berstatus masih diproduksi akan tetapi justru mengalami kesulitan suku cadang.

Kedua isu akan terus dihadapi oleh Kementerian Pertahanan dan TNI hingga beberapa tahun mendatang. Padahal TNI harus menjaga kesiapan operasional di tengah kondisi lingkungan strategis yang penuh tantangan.

Menjaga kesiapan operasional TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara masih terus menjadi tantangan sebab sistem senjata yang mereka operasikan tidak murah dari aspek life cycle cost. Secara umum, kesiapan operasional antara lain ditentukan oleh besaran anggaran pemeliharaan, anggaran latihan dan anggaran operasi yang dialokasikan dalam anggaran pertahanan.

Kunjungan petinggi Naval Group ke PT PAL (photo: PAL)

Dari perspektif teknis, mempertahankan kesiapan operasional di kisaran 40 persen hingga 50 persen merupakan sebuah tantangan besar karena terkait dengan kelancaran rantai pasok suku cadang dan kesiapan industri pada depo-depo pemeliharaan.

Sebagaimana diketahui, sistem senjata seperti pesawat udara dan kapal perang terdiri dari beragam sub sistem seperti airframe/platform, elektronika, sistem pendorong dan senjata. Setiap sub sistem tersebut mempunyai cycle pemeliharaan yang berbeda-beda, sehingga secara langsung mempengaruhi kesiapan operasional.

Walaupun setiap sub sistem tersedia suku cadang apabila terdapat satu atau beberapa part numbers harus dilepas guna menjalani pemeliharaan atau penggantian, namun ada fase pemeliharaan yang membuat pesawat udara dan kapal perang tidak dapat beroperasi sama sekali.

Meskipun Kementerian Pertahanan sudah menandatangani sejumlah kontrak akuisisi sistem senjata dari 2021 sampai sekarang, akan tetapi selalu ada sela antara aktivasi kontrak dengan penyerahan sistem senjata tersebut.

Hal demikian wajar karena produksi sistem senjata dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti ketersediaan material di pasar, pasokan parts atau komponen dari pemasok, kapasitas produksi OEM, order backlog dan lain sebagainya. Sela yang dimaksud menjadi masa tunggu bagi pembeli sistem senjata dan isu itu sudah tercantum di dalam klausul kontrak.

Sebagai ilustrasi, jadwal penyerahan 42 Rafale antara 2026 hingga 2030. Jadwal itu secara umum tidak mempengaruhi kebutuhan operasional TNI Angkatan Udara sebab armada F-16 yang ada saat ini masih dapat mengatasi kebutuhan operasional yang muncul.

4 kapal selam TNI AL 401, 404, 403 dan 405 (photo: Keris)

F-16 masih menjadi tumpuan operasional TNI Angkatan Udara walaupun kemampuan tertentu seperti Beyond Visual Range hanya dimiliki oleh varian A/B. Begitu pula dengan tidak optimalnya kesiapan armada Sukhoi Su-27/30 pun masih dapat ditutupi oleh armada jet tempur buatan Amerika Serikat itu.

Hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah kesiapan operasional armada kapal selam, di mana kapal selam Scorpene Evolved akan diserahkan dalam jangka waktu 96 bulan setelah kontrak efektif.

Walaupun baru dioperasikan kurang dari 10 tahun, kesiapan operasional kapal selam DSME 209/1400 telah menjadi perhatian khusus dari para pemangku kepentingan sejak beberapa tahun lalu. Terdapat aspirasi untuk melakukan upgrade terhadap ketiga kapal selam itu sedari beberapa tahun belakang, namun usulan pendanaan lewat skema PLN belum disetujui oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan.

Dihadapkan pada kondisi demikian, pilihan yang paling realistis adalah Kementerian Pertahanan mengusulkan program upgrade kapal selam DSME 209/1400 kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas untuk dimasukkan ke dalam Blue Book 2025-2029.

Pilihan upgrade lebih mudah daripada harus mencari kapal selam bekas (interim) di pasar internasional saat kondisi pasar selam bekas tidak menjanjikan sebab belum terlihat negara yang hendak menjual kapal selamnya. Nampaknya terdapat beberapa galangan kapal selam non-Korea Selatan seperti Naval Group memperlihatkan minatnya untuk melaksanakan upgrade kapal selam DSME 209/1400 bila tercantum dalam Blue Book mendatang. (Alman Helvas Ali)




from DEFENSE STUDIES https://bit.ly/3TgbWix
via IFTTT