Persiapan dan Penyesuaian Doktrin TNI AU yang Adaptif Seiring Modernisasi Alutsista (2)

09 Juni 2024

A400M yang dibeli Kemhan adalah pesawat cargo dengan kemampuan air-to-air refueling (photo: Airbus Military)

Kemudian untuk kedatangan drone ANKA dari Turkiye, TNI AU berencana menambah dua skadron, yakni Skadron 53 di Tarakan, Kalimantan Utara dan Skadron 54 di Malang, Jawa Timur. 

Saat ini, TNI AU memiliki skadron khusus drone yaitu Skadron 51 di Pontianak, Kalimantan Barat dan Skadron 52 di Natuna, Riau. 

“Saat ini baru ada dua, tapi akan ditambah (sehingga) menjadi empat skadron,” kata Marsekal Pertama (Purn) R Agung Sasongkojati saat masih menjadi Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau), di sela-sela rapat pimpinan TNI AU, 29 Februari 2024. 

Penyesuaian doktrin 

Namun demikian, kedatangan sejumlah alutsista baru tersebut juga perlu diimbangi penyesuaian doktrin. 

Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan, dan Latihan (Dankodiklat) TNI Laksamana Madya Maman Firmansyah mengatakan, penyesuaian doktrin menjadi tantangan TNI, terlebih dengan banyaknya peperangan yang berbasis artificial intelligence (AI) saat ini.

Maman menuturkan, doktrin harus mengacu pada alutsista yang dimiliki TNI. 

"Doktrin itu harus bisa dilaksanakan. Doktrin itu harus bisa dipakai saat terjadi apa-apa, sehingga doktrin itu mengacu kepada alutsista yang kita miliki sekarang," kata Maman dalam paparannya saat pembekalan kepada para perwira siswa (pasis) di Markas Sekolah Staf dan Komando TNI AL (Seskoal) Cipulir, Kebayoran Lama, 8 Mei 2024. 

Selain itu, lanjut Maman, pengoperasionalan dan penguasaan teknologi alutsista juga penting. "Perlu pelatihan tidak? Kan perlu, sehingga tidak semudah itu. Nah ini menjadi tantangan kita, tantangan betul," ujar Maman.

Pengisian bahan bakar A400M dengan sistem probe-and-drogue cocok untuk Rafale (photo: RAF)

Senada dengan Maman, Dosen Magister Hukum Internasional Universitas Hang Tuah Surabaya Laksamana Muda (Purn) Agung Purnomo mengatakan bahwa penguasaan teknologi pada alutsista adalah hal yang mutlak. 

“Kalau kita beli kapal perang X, pesawat tempur Y, teknologinya itu korelasi dengan eksisting kita. Pangkalannya harus besar, workshop-nya harus meningkat, dan seterusnya,” kata Agung dalam webinar yang diselenggarakan Seminar Sentinel bertajuk 'Revolutionising Military Affairs: Revisiting Indonesia's Defence Doctrine', 28 Mei 2024. 

Agung juga menyarankan doktrin harus dikembangkan dengan pendekatan collaborative combat. 

"Intinya di teknologi, real time, dan sinergi. Teknologi mutlak, penguasaan pada level tertentu," tutur Agung. 

Lebih lanjut, Agung mengatakan, pembangunan kekuatan TNI harus diprioritaskan pada sistem pengawasan dan deteksi lewat command, control, communications, computers, intelligence, surveillance, and reconnaissance (C4ISR). 

"Kita harus membangun mata dulu. (Untuk) C4ISR, meskipun sering kita canangkan, sampai hari ini belum terealisasi. Kalimat 'network centric warfare' itu juga sehari-hari kita keluarkan, tetapi itu belum berjalan," kata Agung yang merupakan mantan Tenaga Profesional Bidang Pertahanan dan Keamanan Lemhannas. 

Kemudian, untuk pengadaan alutsista TNI AU juga harus disesuaikan keterpaduan dan integrasi dengan matra lain. Agung mendorong doktrin konsep operasi gabungan antar-angkatan, baik itu operasi kecil maupun besar. 

Ia mengambil contoh soal alutsista baru TNI AU yang akan datang, seperti pesawat tanker A400M dan jet tempur Rafale. 

Konsol pengisian bahan bakar pada pesawat A400M (photo: RAF)

"(Pesawat) A400M (misalnya), itu konteks dengan laut apa? Konteks dengan darat apa? Rafale itu konteks dengan laut apa? Dengan darat apa? Nah ini yang disebut interoperabilitas, ini yang disebut keterpaduan. Ini yang disebut collaborative combat. Apakah itu sudah terjalin? Itu juga menjadi pertanyaan," kata Agung. 

Menurut Agung, perencanaan dari hulu hingga hilir perlu dilakukan terpadu dan bersama-sama, dalam hal ini oleh Kementerian Pertahanan RI dengan ketiga matra, termasuk TNI AU. 

"Tentu collaborative combat sangat bermanfaat dalam rangka mewujudkan efektivitas pertempuran, karena ini adalah teknologi dan prioritasnya di pengawasan, deteksi atau surveillance. Nah tantangan untuk kita apa? Yaitu pengawasan teknologi, kita tidak bisa tawar lagi," ujar Agung. 

Selain itu, Agung mengatakan, doktrin harus berorientasi bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan. Oleh karena itu, taktik dan strategi harus dibangun. 

"Bagaimana kita deploy (kekuatan) ke zona ekonomi ekslusif (ZEE) sampai laut lepas, sementara taktik dan strategi kita belum ada," kata Agung. 

Dalam diskusi yang sama, doktrin yang berorientasi kondisi geografis juga diwanti-wanti oleh Dosen Prodi Industri Pertahanan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Pertahanan RI Jupriyanto. 

Jupriyanto mencontohkan Indonesia dekat dengan Laut China Selatan (LCS) yang merupakan titik panas konflik. Hal itu bisa berdampak ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

"Bagaimana merancang doktrin pertahanan ke depan berkaitan dengan flash point yang ada di sekitar kita," kata Jupriyanto.

See full article Kompas


from DEFENSE STUDIES https://bit.ly/4ccDRqF
via IFTTT