Drone : "Game Changer" Kekuatan Udara TNI AU (2)
12 Juni 2024
from DEFENSE STUDIES https://bit.ly/4bUHsd7
via IFTTT
TAI Anka UCAV MALE (photo: DefenseNews)
Mewujudkan pasukan drone TNI AU yang profesional
Adaptasi terhadap teknologi kedirgantaraan modern perlu dilakukan TNI AU untuk menangkal setiap potensi ancaman yang akan dihadapi pada masa yang akan datang.
Rencana penambahan drone, menurut KSAU Marsekal TNI Mohammad Tonny Harjono, bakal memperkuat armada pertahanan udara yang saat ini telah dimiliki TNI AU.
Selain CH-4 Rainbow dan ANKA, menurut Tonny, Indonesia berencana mendatangkan drone Bayraktar.
Bayraktar merupakan MALE drone besutan Baykar Turki, yang juga digunakan militer Ukraina saat menghadapi perang melawan Rusia.
"Mohon doa restunya, Angkatan Udara menjadi Angkatan Udara yang adaptif mengikuti perkembangan teknologi dan perkembangan situasi nasional, regional, maupun global," kata Tonny usai acara HUT ke-78 TNI AU di Lapangan Dirgantara AAU, Yogyakarta, seperti dilansir dari Antara.
Penerbang pesawat F-16 Fighting Falcon yang pernah terlibat dalam peristiwa Bawean ini menambahkan, ketiga jenis pesawat tanpa awak ini berteknologi satelit. Sehingga, diharapkan mampu mendukung pertempuran beyond visual range (BVR) atau pertempuran udara Jarak jauh.
"Kita bisa menerbangkan dari luar area yang ingin kita pantau misalnya di Papua atau di daerah mana, kita bisa menerbangkan dari luar Papua," ungkap penerbang tempur dengan callsign "Racoon" ini.
Ruang kontrol drone Anka (photo: TUSAS)
Dalam wawancara khusus dengan Kompas.com, Agung mengungkapkan, teknologi pesawat drone dalam lima tahun terakhir, seperti yang digunakan dalam perang Rusia-Ukraina maupun serangan balasan Iran terhadap Israel, telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari aspek teknologi.
Jika sebelumnya, sistem pengendalian drone sangat mahal, saat ini banyak sistem kendali yang digunakan untuk drone dengan harga yang lebih murah, sudah bisa digunakan untuk drone dengan spesifikasi militer.
"Maka tadinya yang autopilot, untuk survei, untuk terbang sejam-dua jam, sekarang bisa digunakan untuk menerbangkan drone 5 jam, 6 jam, membawa bahan peledak, melintasi negara, melintasi gunung, bahkan juga bisa disetel untuk following terrain, terbang rendah sesuai dengan mengikuti kontur, sehingga bisa menyerang dari Jarak jauh dan bisa bebas melewati tangkapan radar," ungkap Agung di program BRIGADE Podcast yang tayang di kanal YouTube Kompas.com, Rabu (29/5/2024).
Mantan pilot F-5 Tiger dengan callsign "Sharky" ini menambahkan, Indonesia yang merupakan negara kepulauan besar ini akan diuntungkan bila memperkuat armada drone untuk pengawasan.
Ia menjelaskan, sebagai negara dengan luas mencapai 1.904.569 kilometer persegi, tantangan yang dihadapi Indonesia pada saat ini adalah pada aspek pengawasan.
Banyak kasus kejahatan yang terjadi di wilayah perbatasan yang tak terpantau langsung, meskipun upaya pengawasan telah dilakukan selama 24 jam baik menggunakan radar maupun pesawat pengintai.
Adapun kasus kejahatan itu, misalnya, illegal fishing, illegal mining, hingga penyelundupan barang secara illegal, baik itu narkoba maupun barang lain yang memiliki nilai ekonomis tetapi telah diproduksi di dalam negeri. Sehingga, hal tersebut berdampak terhadap perekonomian Indonesia.
Baykar Bayraktar TB2 MALE UCAV (photo: Baykar)
"Kita perlu pengawasan 24 jam. Udara bisa diawasi lewat radar kalau ada pesawat masuk. Laut juga ada radar. Namun tetap (pengawasan lewat radar) itu terbatas karena pengoperasinya adalah manusia," ucapnya.
Dengan drone, upaya pengawasan dapat dilakukan lebih maksimal. Sebab, selain dikendalikan secara manual oleh pilot, drone juga bisa dikendalikan secara otonom dengan bantuan AI.
Namun, AI yang bekerja di sini tetap berada di bawah kendali penuh pilot yang mengoperasikan drone tersebut dari ruang kendali. Hal ini penting untuk meminimalisir terjadinya kesalahan ketika AI mulai menganalisis potensi ancaman yang didapati pada saat melakukan pengawasan pada target yang ditentukan.
"Dengan AI dia sudah bisa mewakili manusia untuk menentukan sampai seberapa jauh, dia ini sudah melanggar, mengganggu, mengusik, sehingga mereka bisa melakukan tindakan lain, yang baru setelah itu bertanya kepada manusia, saya ngapain nih," ujarnya.
"Tapi sebelum itu dia sudah bisa dengan gerak-geriknya, dengan waktu jalannya, kecepatannya, gerak-gerik orang di dalam itu dia sudah mengetahui bahwa ini mencurigakan. setelah itu diverifikasi ini mencurigakannya beralasan tidak, tanya, nah baru itu manusia berperan," imbuh dia.
Kelebihan lain di dalam penggunaan drone, menurut Sharky, tidak membutuhkan landasan panjang untuk take off. Kondisi ini menguntungkan apabila sewaktu-waktu dideteksi adanya ancaman langsung, drone bisa berperan terlebih dulu untuk melakukan pengintaian, pencegatan, bahkan perlawanan, sebelum pesawat tempur berawak menuju lokasi target.
"Kalau ternyata dia dianggap sangat berbahaya lalu merupakan direct threat atau ancaman langsung, contohnya pesawat tanpa awak dengan kecepatan sekian lurus menuju ibu kota, wah ngapain nih, nah itu kita bisa langsung melakukan tindakan. Tindakan-Tindakan sesuai dengan prosedur akan dilakukan, dan itu drone akan lebih cepat," kata dia.
Simulator drone Bayraktar TB2 (photo: Baykar)
"Bahkan mungkin, sebelum manusianya take off, drone ini bisa di-take off-kan lebih dulu untuk menyanggong (mengecek). Karena dia (drone) kan (bisa) tiap saat (terbang). Enggak perlu orang bangung, lari, pasang ini (jaket pilot). (Drone itu) langsung deg nyala mesin, GPS-nya on, lalu dia sistemnya disiapkan dia bisa airbone dulu," imbuhnya.
Dalam contoh lainnya, menurut Agung, kelebihan drone yang patut dipertimbangkan adalah terletak pada proses mencetak pilot, dibandingkan jet tempur.
Menurutnya, jika ada misi yang sifatnya kuantitatif, membutuhkan pesawat dan pilot dalam skala besar, tentu akan menjadi tantangan tersendiri bila harus mencetak banyak pilot pesawat tempur dalam Waktu singkat.
Pada dasarnya, kata Agung, teruji atau tidaknya seorang pilot untuk melaksanakan sebuah misi tergantung pada jam terbang yang telah mereka kantongi.
Seorang pilot juga dituntut untuk memiliki kecerdasan tinggi, karena mereka dituntut harus mampu berpikir dan mengambil keputusan secara cepat, baik itu saat menjalankan misi mandiri maupun bekerja sama dalam tim.
Namun untuk pilot jet tempur, juga dibutuhkan kemampuan fisik dalam beradaptasi yang tinggi. Karena hal ini akan berpengaruh terhadap seberapa kuat mereka ketika menghadapi tekanan saat terbang dan juga berkorelasi terhadap mental dan kemampuan berpikirnya.
"Nah untuk pesawat tanpa awak, tidak ada beban fisik yang lebih dalam. Tidak ada beban ini. Secara psikisnya dia (memang) harus kuat, (juga) secara skillnya. Namun skillnya kan bisa (dilatih) menggunakan simulator," ucapnya.

Skadron Udara drone no 53 dan 54 akan dibentuk dalam waktu dekat di Tarakan dan Timika melengkapi 2 skadron yang sudah ada (image: istimewa)
"Akibatnya, untuk mendapatkan pilot untuk pesawat tanpa awak relatif lebih mudah. Karena mungkin soal fisiknya ya, physically adapt itu dikurangi. Padahal itu beban terbesar untuk mendapatkan penerbang tempur itu adalah secara physically adapt," ujarnya.
Sharky menegaskan bahwa seorang pilot memiliki peranan penting di dalam keberhasilan operasi yang dilakukan drone. Meskipun drone saat ini telah dibekali AI sehingga mampu bergerak otonom, proses pengambilan keputusan tetaplah harus berada di tangan pilot.
Hal ini diperlukan agar drone tetap berfungsi sebagaimana mestinya yaitu sebagai alat pengawasan, pertahanan negara, serta membantu melumpuhkan setiap ancaman yang datang. Bukan sebaliknya menjadi mesin pembunuh bagi masyarakat sipil yang tidak bersalah karena kesalahan di dalam proses pengambilan keputusan.
Seperti serangan drone otonom saat terjadi pada saat perang saudara di Libya pada 2020 lalu.
Hal ini diketahui berdasarkan laporan panel ahli independen yang ditugaskan PBB untuk menyelidiki perang Libya, sebagaimana dilaporkan New York Times pada 3 Juni 2021.
Konvoi logistik Haftar Affiliated Force (HAF) diburu dan dilawan dari jarak jauh oleh drone otonom STM Kargu-2, setelah dipukul mundur oleh pasukan militer yang bergerak atas perintah Perdana Menteri Faiez Serraj.
Sistem senjata otonom mematikan diprogram untuk menyerang sasaran tanpa memerlukan konektivitas data antara operator dan amunisi. Pada dasarnya, drone tersebut dibekali kemampuan "fire, forget, and find" dalam misi yang sebenarnya.
See full article Kompas
from DEFENSE STUDIES https://bit.ly/4bUHsd7
via IFTTT
Post a Comment