Scroll to continue reading
Kisah Scramble Hawk 209 TNI AU Kejar F-111 Aardvark di Kupang yang Belum Pernah Diungkap (1)

Kisah Scramble Hawk 209 TNI AU Kejar F-111 Aardvark di Kupang yang Belum Pernah Diungkap (1)

28 April 2024

Kapten Pnb Henri Alfiandi, foto diambil sebulan sebelum berangkat ke Kupang (photo: Henri Alfiandi)

MYLESAT.COM – Scramble ada satu kata yang sangat dikhawatirkan para penerbang tempur. Membayangkan sirine meraung-raung dan para penerbang harus bergegas ke ruang ganti pakaian untuk memakai baju terbang, dan kemudian berlari ke apron. Pesawat dihidupkan, penerbang onboard, segera taxi dan airborne. Semakin cepat lepas landas akan semakin baik.

Dalam banyak kisah selama Perang Dunia II, tak jarang keterlambatan mengakibatkan kematian dan pangkalan porak poranda dihantam bom serta roket dari pesawat musuh.

Penerbang TNI AU memang tidak sesering pilot tempur negara-negara NATO, Jepang, Korea Selatan, dan Rusia menghadap situasi scramble.

Scramble adalah memobilisasi pesawat militer secara cepat untuk menghadapi ancaman udara. Karena itu scramble selalu dilatihkan di skadron-skadron tempur TNI AU. Bagaimana jika menghadapi situasi sesungguhnya?

“Saya luck. Itu zamannya Top Gun dan saya terbang di A-4 tidak mau kalah dengan F-16, film Top Gun mempengaruhi saya sebagai penerbang tempur dan meninggikan proudness. Saya juga masuk Top Gun Indonesia yaitu Fighter Weapon Instructure Course (FWIC) tahun 1999,” tutur Marsda TNI Henri Alfiandi membuka kisahnya.

Selesai FWIC, persisnya 12 September 1999, Kapten Pnb Henri Alfiandi berangkat tugas ke Kupang. Ia datang untuk menggantikan kelompok penerbang terdahulu yang melaksanakan standby operasi setelah Dili dilanda konflik pasca jajak pendapat.

Saat itu diberlakukan pergantian penerbang setiap dua minggu sekali. “Saat ke Kupang dengan Hercules, saya satu pesawat dengan Pak Marie Muhammad sebagai Ketua PMI,” kenangnya.

Di hari keempat, Kamis, 16 September, satu flight pesawat BAe Hawk 109/209 disiapkan di flight line Lanud El Tari, Kupang. Misi rutin patroli (Combat Air Patrol) sesuai arahan Panglima Koopsau II yang memerintahkan tembak jatuh pesawat apapun yang melintasi wilayah udara Indonesia tanpa izin karena situasi ‘panas’ saat itu.

Bertindak sebagai flight leader hari itu Kapten Pnb Azhar “Gundala” Aditama dengan wingman Kapten Pnb Henri “Tucano” Alfiandi bersama Lettu Pnb Anton “Tomcat” Mengko.

Kapten Azhar menerbangkan Hawk 209 TT-1207 kursi tunggal. Sedangkan Kapten Henri dan Lettu Anton menggunakan Hawk 109 TL-0501 kursi tandem. TNI AU hanya menempatkan tiga Hawk 109/209 di Kupang.Kedua pesawat lepas landas sekitar pukul 9 pagi.

Patroli dilaksanakan ke arah tenggara (225 derajat) menuju batas FIR (Flight Information Region) Darwin, Australia.

Lettu Pnb Hasbullah saat berdinas Skadron Udara 1 Lanud Supadio, Pontianak (photo Hasbullah)

Koordinasi dilakukan dengan Satuan Radar (Satrad) 251 Kupang yang mengoperasikan radar GCI (Ground Control Interception) dipimpin Mayor Lek Haposan.

Dalam tiga hari patroli di lokasi yang sama, Henri selalu melihat kejanggalan di wilayah perairan di depan muka Kupang. “Lewat di situ saya selalu lihat ada kapal layar. Saya laporkan. Kapal ini (sepertinya) memancarkan berita radio dan berperan sebagai hub. Kapal layar itu mesti di situ, seperti kapal pesiar,” jelas Henri.

Situasi aman tidak bertahan lama. Mayor Haposan melaporkan kepada Kapten Azhar bahwa dua pesawat tak dikenal melewati batas FIR Darwin pada ketinggian 8.000 kaki dengan kecepatan 160 knot.

Kata Henri, Satrad 251 meminta untuk mengecek sebuah helikopter yang tengah menuju Dili tapi mengarahnya ke Satrad. “Saya bilang ke wingman Lettu Azhar untuk cek, karena pesawatnya pakai radar,” ujar Henri.

Hawk 209 TT-1207 menggunakan radar AN/APG-66H, sehingga bertindak sebagai leader.  “Siap mas, locked,” ujar Azhar.

“Berapa kecepatannya,” tanya Henri mulai bimbang. Azhar mengatakan 150 knot, sebelum tiba-tiba ia berteriak.

“Kecepatannya nambah , naik terus 160, 170, 200, loh kecepatannya sama (dengan kita),” jelas Henri. Jarak di antara Hawk dan pesawat yang belum diketahui identitasnya ini semakin mendekat sekitat 80 mil.

“Tahu begitu, saya langsung naik ke atas dan ambil posisi dog fight untuk melindungi Azhar karena saya tidak pakai radar. Saya di belakang dia,” ungkap Henri.

Kedua Hawk dari Skadron Udara 12 itu naik hingga ketinggian 28.000 kaki, mencapai ketinggian maksimumnya hingga badan pesawat bergetar. Mereka mulai sadar bahwa yang dihadapi bukanlah helikopter melainkan pesawat tempur.

Manuver tempur dilakukan kedua Hawk 109/209, termasuk mengaktifkan radar. Dalam kondisi sangat genting itu tiba-tiba pesawat musuh berbalik arah menuju dua Hawk TNI AU ini.

Pada saat itulah Kapten Azhar bisa melihat secara jelas pesawat apa yang sedang mereka buru. “Hornet,” teriaknya menyebut F/A-18 Hornet milik Australia.

“Mas, locked mas, tembak mas,” katanya kepada Henri.

“Jangan, kita tidak ada declared perang,” teriak Henri keras. Saat itu radar di pesawat sudah berbunyi, toot… toot… toot, menandakan sudah mengunci target.

Insiden berakhir sampai di sini. Kedua Hornet berbalik Kembali ke Selatan menuju FIR Darwin. Sebaliknya kedua Hawk kembali ke Lanud Lanud El Tari. Ternyata ceritanya belum selesai seperti selama ini sudah dikutip banyak media.

F/A-18 A/B Angkatan Udara Australia (photo: Luke Priestly)

“Begitu Hornet ini pulang, dari sana airborne 4 pesawat disusul pesawat lebih besar sepertinya tanker lalu airborne 4 pesawat lagi sehingga total 8 pesawat tambah tanker,” ungkap Henri.

Waktu mereka tidak banyak.

Begitu mendarat, Henri sebagai yang tertua langsung memerintahkan untuk menyiapkan pesawat yang dilengkapi radar. “Saya minta hot refueling tapi tidak bisa,” jelasnya.

Akhirnya begitu mendarat, langsung engine shut down dan mengisi bahan bakar untuk kemudian langsung alignment dan terbang.

“Begitu landing saya langsung turun dan lari ganti pesawat, saya sempat ambil satu lemper dan minum teh. Lari lagi dan airborne dua pesawat,” kata Henri. Dua rudal AIM-9 Sidewinder masih menggantung ke dua sayap pesawatnya.

Begitu terbang, radar di pesawat langsung aktif. Terjadi perang elektronika yang tidak seimbang. Radar di Hawk mulai kacau karena mendapat serangan dari seberang sana.

Menurut Henri, radar di Hawk cuma bisa main di delapan frekuensi. Sementara pesawat yang tengah diincar 18 frekuensi sehingga duel elektronika itu menjadi tidak seimbang. Pesawat dari arah Australia dalam jumlah yang jauh lebih banyak itu semakin mendekati dua Hawk yang terbang dari Kupang.

60 mil, 50 mil, 40 mil, 30 mil, anggota di Satrad 251 sudah tegang dan ribut. Pesawat heading ke depan terus. “Begitu 20 mil, ada teriakan kembaliiiiiiii…..,” kenang Henri.

Henri baru sadar kalau drop tank di pesawatnya tidak bisa feeding alias tidak bisa menyalurkan bahan bakar ke mesin. Akibatnya pesawatnya menjadi tidak simetris, miring.

Saat itu dari kedua belah pihak belum visual sehingga tidak bisa melihat satu sama lainnya. Tak lama kemudian kedua belah pihak berbalik arah kembali ke pangkalan masing-masing.

Setelah kembali ke Kupang, beberapa waktu kemudian Henri di telepon Komandan Skadron 3 Letkol Pnb M. Syaugi. Henri diomelin habis oleh seniornya itu yang menilainya ngawur karena nekad menantang Hornet.

“Di situ saya sadar kenapa bisa begitu nekad, saat itu saya teringat mungkin begitulah semangat perang 10 November 45,” ucap alumni AAU 88B yang memegang callsign Jupiter-329 di lingkungan instruktur penerbang TNI AU.

See full article MyLesat


from DEFENSE STUDIES https://bit.ly/3QiTNzh
via IFTTT
Post a Comment