Prabowo, Sri Mulyani, dan Pembiayaan Belanja Pertahanan RI
09 Mei 2021
from DEFENSE STUDIES https://bit.ly/3ba6AiQ
via IFTTT
Anggaran Kemenhan dan alokasi anggaran alutsista 2017-2021 (image : DJA)
Mengacu pada data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri Indonesia per akhir Februari 2021 tercatat sebesar US$422,6 miliar. Besaran utang memiliki keterkaitan dengan debt-to-GDP ratio Indonesia yang terus meningkat beberapa tahun terakhir, di mana pada 2021 diproyeksikan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencapai 41,09%. Mengacu pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas debt-to-GDP adalah 60%.
Realitas fiskal yang dihadapi oleh pemerintah penuh dengan tantangan di mana proyeksi defisit anggaran terhadap GDP tahun ini adalah 5,7% atau Rp1,006 kuadriliun. Kondisi demikian terkait dengan pandemi Covid-19 yang telah lebih setahun melanda Indonesia sehingga membuat pengeluaran pemerintah meningkat secara ekstrem. Pandemi memaksa pemerintah melebarkan pita defisit APBN menjadi di atas 3% selama tiga tahun terhitung dari 2020 hingga 2023 berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020.
Pada saat yang bersamaan, pemerintah melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan) di bawah Menteri Pertahanan Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto memiliki program ambisius untuk pembangunan kekuatan pertahanan, termasuk pengadaan senjata. Periode 2020-2024 adalah fase terakhir Minimum Essential Force (MEF) 2010-2024 di mana salah satu fokus sorotan apakah target MEF dapat dicapai pada 2024? Mengacu pada pencapaian MEF pada 2010-2014 dan 2015-2019, dapat dipastikan bahwa pada 2024 MEF tidak akan mencapai target karena sejumlah faktor seperti aspek dukungan finansial dari pemerintah, perencanaan pengadaan yang seringkali berubah-ubah dan proses tender yang tidak selalu sukses.
Dalam rangka kelanjutan MEF, Kemhan telah menyiapkan draf Rancangan Peraturan Presiden (RPP) tentang Rencana Strategis Pertahanan 2021-2045. Rancangan perpres ini cukup ambisius untuk pembangunan kekuatan pertahanan hingga 2045, khususnya menyangkut rencana pembelian senjata selama hingga 25 tahun ke depan yang dibagi dalam lima fase rencana strategis (renstra). Terdapat beberapa hal yang patut menjadi perhatian dengan hal tersebut ini.
Pertama, rencana strategis
Pembangunan kekuatan pertahanan periode 2021-2045 akan terbagi dalam lima tahapan, yaitu 2020-2024, 2025-2029, 2030-2034, 2035-2039 dan 2040-2045. Belum dapat dipastikan berapa besar kebutuhan pendanaan Pinjaman Luar Negeri (PLN) untuk pembelian alutsista selama masa itu, namun kalkulasi kasar berkisar antara US$200 miliar sampai US$300 miliar. Belum diketahui pula berapa kemampuan fiskal pemerintah nantinya untuk memenuhi kebutuhan pengadaan senjata hingga 2045, baik dalam bentuk Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri (DRPPLN) yang diterbitkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas maupun Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Terdapat aspirasi agar beberapa renstra tersebut dikonsolidasikan dalam satu renstra saja, yaitu renstra 2020-2024. Aspirasi itu merupakan suatu hal yang wajar, namun perlu dipertimbangkan secara seksama kemampuan fiskal pemerintah untuk mendukung hal tersebut. Apabila melihat Blue Book untuk Kemhan diterbitkan oleh Kementerian PPN/Bappenas, nilainya saja sudah cukup besar yang tidak dapat disebutkan di sini. Masih menjadi pertanyaan berapa kegiatan dari Blue Book yang dapat masuk dalam DRPPLN, apalagi kemudian mendapatkan PSP.
Kedua, alokasi PLN
Terdapat kecenderungan perubahan alokasi PLN untuk Kemhan terkait pengadaan senjata. Pada renstra 2015-2019, Kementerian Keuangan menyediakan DRPPLN sebesar US$ 7,7 miliar dengan penyerapan menurut Kemhan adalah 80%. Namun menurut Kemenkeu, kinerja penarikan PLN masih rendah karena masih ada kegiatan yang belum diterima kontrak atau belum adanya Surat Konfirmasi Pengadaan Barang dan Jasa (SKPBJ).
Pada tahun anggaran 2021, Kemhan mendapatkan alokasi senilai US$ 9,3 miliar dalam DRPPLN. Hal itu merupakan suatu kemajuan luar biasa karena nilai tersebut hanya untuk satu tahun anggaran saja. Sementara pada renstra 2015-2019 alokasinya hanya US$ 7,7 miliar. Dari nilai US$ 9,3 milyar, Kemenkeu hanya dapat memenuhi sekitar 50% saja dalam bentuk PSP. Kemampuan pembiayaan oleh Kemenkeu dapat dipahami karena Lapangan Banteng juga harus membiayai berbagai sektor lainnya secara simultan di masa pandemi ini.
PSP adalah kunci utama dalam pembiayaan akuisisi senjata oleh Kemhan, karena tidak semua program dalam DRPPLN akan mendapatkan PSP. Apabila Kemhan mendapatkan alokasi DRPPLN setiap tahun hingga tahun fiskal 2024, maka kementerian ini akan menerima pula PSP setiap tahunnya. Pertanyaannya adalah bagaimana daya serap PLN nantinya dalam satu tahun anggaran? Perlu dipahami bahwa masa berlaku PSP adalah satu tahun kalender terhitung sejak mulai diterbitkan, meskipun dapat diusulkan kembali menjadi kegiatan prioritas pada tahun berikutnya.
DRPPLN dan PSP
Tidak dapat dimungkiri terdapat sejumlah calon lenders dari negara-negara Barat, Timur Tengah, dan Asia Timur yang siap mendanai belanja pertahanan hingga tahun 2024, di mana hal ini tidak lepas pula dari lobi Kemhan sendiri. Namun apakah nantinya penawaran para calon lenders akan diterima Kemenkeu akan tergantung banyak hal, seperti tenor pinjaman dan tingkat suku bunga yang ditawarkan. Bahkan ada salah satu pabrikan terkenal di dunia yang sudah menyiapkan lender-nya kepada Indonesia apabila Jakarta setuju untuk mengakuisisi senjata buatannya.
Pada akhirnya, keberhasilan Kemhan memodernisasi alutsista akan ditentukan oleh Kemenkeu dalam hal pembiayaan lewat PSP maupun kemampuan Kemhan menyerapkan alokasi PSP tersebut. Penerbitan DRPPLN berikut PSP pada setiap tahun anggaran merupakan tantangan besar bagi Kemhan. Mampukah Kemhan mengatasi tantangan tersebut?
(CNBC)
from DEFENSE STUDIES https://bit.ly/3ba6AiQ
via IFTTT
Post a Comment